Walhi: Karena Reklamasi, 45 KK Tergusur dari Pantai Losari

MAKASSAR, KOMPAS.com – Rencana besar Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan untuk menciptakan kawasan pertumbuhan ekonomi baru dengan merestui pembangunan proyek reklamasi seluas 157,23 hektar bertajuk Center Point of Indonesia (CPI), ditentang pegiat lingkungan.

_DSC8792
Direktur WALHI Sulsel, Asmar Exwar (Foto:WSC)

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, Asmar Exwar mengungkapkan resistensi dari masyarakat pesisir dan warga kota Makassar.

“Karena reklamasi tidak memberikan dampak positif dan bermanfaat bagi masyarakat. Reklamasi hanya akan menghilangkan habitat alami pesisir seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang serta menghilangkan mata pencarian,” tutur Asmar kepada Kompas.com, Kamis (24/3/2016).

Dia menambahkan, sebelum pekerjaan reklamasi di bagian laut dilakukan, sudah menggusur sebanyak 45 kepala keluarga (KK) pencari kerang Mariso.

Mereka tidak saja kehilangan mata pencarian, namun juga akses ke laut yang terhalang akibat pekerjaan awal reklamasi ini.

Karena itulah, menurut Asmar, pegiat lingkungan seperti dirinya, Walhi, dan masyarakat pesisir menentang pembangunan reklamasi CPI.

Dia memaparkan, reklamasi kawasan CPI akan menimbun laut sebanyak 22 juta ton meter kubik. Hal ini tentu berpotensi mengubah pola arus laut karena ada daratan buatan.

“Reklamasi ini juga mengambil ruang publik berupa pesisir dan laut di mana setiap orang seharusnya dapat bebas mengaksesnya. CPI ini merupakan kawasan privat dan mewah. Ini komersialisasi pesisir lewat proyek reklamasi,” tambah Asmar.

Pendek kata, lanjut dia, apa pun dalih Pemprov dan swasta yang mereka gandeng tidak memperbaiki kawasan lingkungan.

Upaya perbaikan itu justru harus dilakukan dengan cara pemulihan lingkungan pesisir, habitat alami, menambah ruang terbuka hijau (RTH) pesisir, mengurangi laju sedimen dan pencemaran pantai.

Sementara itu, Direktur PT Ciputra Surya Tbk, Nanik J Santoso, perwakilan KSO Ciputra Yasmin yang merupakan pengembang CPI menolak klaim masih ada resistensi dari masyarakat pesisir Pantai Losari.

Menurut Nanik, KSO Ciputra Yasmin justru telah menunjukkan komitmen kepada pemerintah dan masyarakat Sulawesi Selatan melalui upaya perbaikan pesisir Pantai Losari.

Selain itu, aku Nanik, fasilitas publik lainnya yang telah dikerjakan dan sudah dimanfaatkan langsung oleh masyarakat sekitar CPI adalah pengerukan jalur nelayan, yang menelan dana hampir Rp 2 miliar.

“Jalur nelayan dari Pantai Losari menuju Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Rajawali yang tadinya sangat sulit dilalui oleh Perahu Nelayan karena sudah terjadi pendangkalan dan sempit ukurannya, kini bisa dilalui dengan leluasa,” beber Nanik.

Direktur Utama PT Ciputra Surya Tbk, Harun Hajadi menambahkan, jalur nelayan tersebut nantinya masih akan diperlebar mengikuti rancangan induk (master plan) yang telah disetujui dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar saat ini.

“Meskipun secara hukum, KSO Ciputra Yasmin hanya berkewajiban untuk menimbun dan membentuk lahan reklamasi saja, tetapi khusus di lokasi ini akan dibuatkan pantai buatan dari pasir putih yang dilengkapi dengan berbagai fasilitas,” jelas Harun.

Pekerjaan Pantai Pasir Putih sepanjang 350 meter tersebut akan diselesaikan dalam tahun ini juga, dan langsung diserahkan kepada Pemprov Sulawesi Selatan.

Rencananya Pantai pasir Putih akan dilengkapi dengan tempat parkir, toilet, mushala, fasilitas jajan kaki lima, dan kursi taman dengan lanskap khusus.

Sumber:

http://properti.kompas.com/read/2016/03/28/152648621/Walhi.Karena.Reklamasi.45.KK.Tergusur.dari.Pantai.Losari.

Di Tengah Penolakan, 8 Perusahaan Pastikan Terlibat dalam Reklamasi Jakarta

pantai-reklamasi-1-12754544441

Proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk. Foto: bumn.go.id

Walau mendapat tentangan dari masyarakat di Teluk Jakarta, namun Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terus melaksanakan proyek reklamasi pantai dan pembangunan 17 pulau buatan di Teluk Jakarta. Proyek tersebut dilakukan dengan skema utang senilai Rp540 triliun atau setara USD40 miliar.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Abdul Halim, mengungkapkan, sedikitnya saat ini ada 8 (delapan) perusahaan prooperti yang sudah mengantongi izin reklamasi dari Pemprov DKI Jakarta. Dari 8 perusahaan tersebut, terdapat PT Muara Wisesa Samudera (anak perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk) yang kebagian jatah membangun Pulau G.

“Untuk mereklamasi perairan seluas 161 hektare, perusahaan ini menggandeng investor asal Amerika Serikat, Inggris, Belanda, dan Singapura. Di dalam Pulau G, akan disediakan 70.000 tempat tinggal, mal, perkantoran, apartemen, dan perumahan pinggir pantai sebanyak 90.000,” ujar dia di Jakarta, Kamis (28/1/2016).

Halim menjelaskan, PT Muara Wisesa akan melaksanakan pembangunan Pulau G, karena sebelumnya sudah mendapatkan Surat Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tertanggal 23 Desember 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi Pulau G kepada PT Muara Wisesa Samudra.

“Padahal surat keputusan ini bertentangan dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,” tutur dia.

Halim melanjutkan, di dalam Pasal 34 disebutkan, (1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan sosial ekonomi; (2) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan: (a)     keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat; (b) keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta (c) persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.

perusahaan-terlibat-reklamasi-teluk-jakarta-

Sumber: Pusat Data dan Informasi KIARA (Januari 2016), diolah dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan pelbagai sumber

“Pada perkembangannya, masyarakat pesisir di Teluk Jakarta, termasuk Tangerang dan Bekasi, menolak proyek reklamasi ini dikarenakan ancaman hilangnya keberlanjutan hidup dan penghidupan mereka,” papar dia.

Menurut Halim, penolakan warga itu sejalan dengan Penjelasan Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

“Reklamasi di wilayah pesisir hanya boleh dilakukan apabila manfaat sosial dan ekonomi yang diperoleh lebih besar daripada biaya sosial dan biaya ekonominya,” tandas dia.

Protes Nelayan

Sementara, di hari yang sama, puluhan nelayan yang mengatanamakan nelayan pantai utara Jakarta melakukan aksi demontrasi dengan mendatangi gedung DPRD DKI Jakarta. Kedatangan mereka ke gedung Rakyat tersebut, tak lain karena mereka khawatir proyek reklamasi akan mengancam keberlangsungan mereka selanjutnya.

Bersama dengan para nelayan, turut hadir juga aktivis dari Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta), dan Walhi Jakarta. Kehadiran mereka di gedung Dewan, untuk memberikan dukungan atas aksi yang dilakukan nelayan.

Di sela aksi, Sekretaris Jenderal KNTI M Taher mengungkapkan, kehadiran nelayan dan para aktivis, tidak lain untuk menyuarakan tiga tuntutan atas proyek reklamasi dan pembangunan pulau buatan di Teluk Jakarta.

Tiga tuntutan tersebut, yaitu menolak Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang reklamasi, menolak proyek reklamasi, dan menolak relokasi nelayan di sekitar Teluk Jakarta.

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/01/29/di-tengah-penolakan-8-perusahaan-pastikan-terlibat-dalam-reklamasi-jakarta/

CPI Jadi Rebutan Pengusaha

mongabay reklamasi

Makassar – Paska Pemerintah Sulawesi Selatan membuka keran bagi investor lokal dalam pembangunan Center Poin of Indonesia (CPI), sejumlah pengusaha berlomba-lomba menawarkan investasi untuk menyelesaikan proyek yang akan menjadi icon baru Sulsel ini.

Pengusaha yang menyampaikan kesiapannya antaralain Komisaris Utama PT Passokorang Wilianto Tanta, yang siap investasi Rp 400 Miliar. CEO Bosowa Corporindo, Erwin Aksa bahkan sudah membuat desain baru CPI yang dalam waktu dekat diusulkan ke Gubernur Syahrul Yasin Limpo. Serta pemilik sekaligus pendiri IMB Group Andi Idris Manggabarani yang mengusulkan 10 pengusaha lokal bentuk konsorsium dengan investasi minimal Rp 300 M.

Kesiapan tiga pengusaha lokal Makassar dengan aset usaha diatas Rp 1 Triliun ini, sebagai respon cepat atas keinginan Gubernur yang membuka peluang partisipasi investor lokal menggarap megaproyek ini.

Wilianto mengatakan ada banyak pengusaha Sulsel yang bisa bekerjasama menyelesaikan proyek ini, seperti Kalla Group, Bosowa Group, Galesong Group.

Sementara itu pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sulsel menunjukkan dukungan terhadap penyelesaian mega proyek ini dengan menyetujui dana tambahan Rp. 60 milyar di APBD 2015 ini.

Meski demikian Legislator di DPRD Sulsel meminta agar proyek di barat kota Makassar ini tidak dipaksakan segera selesai dengan menggelontorkan terlalu banyak dana APBD. Pasalnya masih banyak kebutuhan masyarakat Sulsel yang lebih penting untuk dipenuhi.

“Tidak mesti anggaran APBD terlalu banyak yang dialokasikan ke sana (CPI) karena masih banyak kebutuhan masyarakat Sulsel yang lebih urgen untuk dipenuhi,” kata legislator Nasdem Sulsel, Pendi Bangadatu, Selasa (6/1/2015).

Diketahui mega proyek yang digagas sejak tahun 2010 ini merupakan tanah tumbuh di pantai Losari yang direklamasi seluas 200 hektar. Ini dimaksudkan oleh Pemprov Sulsel untuk membangun sebuah Kawasan Kota Terpadu berwawasan Water frot city (Kota pantai) dilengkapi berbagai fasilitas modern dalam rangka mengantisipasi perkembangan Kota Metropolitan Makassar dimasa depan, termasuk untuk menyediakan ruang-ruang public (public space) yang kini amat minim dimiliki Kota Makassar.

Selain itu dikawasan ini juga akan dibangun Wisma Negara dengan luas lahan 5 hektare, yang didesain dengan model bangunan yang menyerupai burung garuda. Kehadiran simbol negara ini dan kota terpadu berfasilitas moderen diharapkan bisa mewujudkan Makassar sebaai kota dunia.

Editor: Hexa

Sumber: http://www.kabarmakassar.com/cpi-jadi-rebutan-pengusaha/

Terumbu Karang Pesisir Makassar Rusak Parah. Dampak Reklamasi?

Karang01.JPG
Dengan metode transect point peneliti dari MSDC menemukan adanya trend penurunan kualitas populasi dan kualitas terummbu karang di tiga pulau di pesisir Kota Makassar. Foto : Hardin/MSDC

Populasi dan kualitas terumbu karang di tiga pulau di pesisir Kota Makassar, Sulawesi Selatan, menurun drastis. Beberapa faktor eksternal dicurigai sebagai penyebabnya, termasuk proyek reklamasi untuk pembangunan Centre Point of Indonesia (CPI).

Hal ini terungkap dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Marine Science Diving Club (MSDC) Universitas Hasanuddin, pada awal Desember 2015 lalu. Melalui metode point transect, penelitian ini menunjukkan adanya tren penurunan kualitas terumbu karang di tiga pulau yang diteliti, yaitu Pulau Barang Lompo, Barrang Caddi dan Samalona.

“Dari ketiga pulau yang kami teliti memang terlihat adanya penurunan populasi atau persentase ketertutupan terumbu karang dalam empat tahun terakhir. Yang paling parah terjadi di Pulau Samalona, pulau terdekat dari Kota Makassar,” ungkap Ketua MSDC, Hardin Lakota, di Makassar, Sabtu (9/1/2016).

Penelitian ini mengambil sampel di dua titik pada masing-masing pulau, yaitu di kedalaman 3 meter dan 7 meter, dengan panjang transek 100 meter. Jarak yang dianggap sudah mewakili pulau yang diteliti.

Karang02.JPG
Kondisi terumbu karang yang rusak, tertutupi pasir dan ditumbuhi algae banyak ditemukan di daerah yang diteliti di tiga pulau di pesisir Kota Makassar. Foto : Hardin/MSDC

Menurut Hardin, untuk mengetahui kualitas karang bisa dihitung dari persentase karang hidup di masing-masing pulau yang diteliti. Indikatornya adalah jika kondisi ketertutupan antara 75-100 persen maka kualitasanya sangat baik. Antara 50 – 75 persen baik, dan jika di bawah 50 persen maka dikategorikan buruk.

“Hasilnya menunjukkan bahwa pada tahun 2015 ini kondisi ketertutupan karang rata-rata di angka 30-an persen, yang berarti termasuk dalam kategori buruk.”

Dari grafik yang ditunjukkan Hardin, menunjukkan bahwa di Pulau Barrang Caddi, kondisi terumbu karangnya sempat mengalami kenaikan pada tahun 2013, yaitu 67 persen, dari sebelumnya yang hanya 56 persen. Namun, pada tahun 2014 menurun menjadi 47 persen. Pada tahun 2015 kembali mengalami penurunan hingga 33 persen.

Di Pulau Barrang Lompo, dari tahun 2012 – 2015 trennya terus menurun. Jika pada tahun 2012 populasi ketertutupan sekitar 62 persen, turun menjadi 50 persen di tahun 2013, lalu turun lagi ke angka 34 persen di tahun 2014. Pada tahun 2015 turun drastis ke angka 29 persen, yang merupakan angka terendah dari seluruh pulau yang diteliti.

Trend penurunan yang sama terjadi di Pulau Samalona. Jika ada tahun 2012 kondisi ketertutupan yang direkam sebesar 57 persen, menurun menjadi 56 persen di tahun 2014, lalu ke angka 49 persen di tahun 2014. Penurunan drastis terjadi di tahun 2015 menjadi 35 persen.

“Ini bisa jadi terkait dengan semakin tingginya intensitas pembangunan di wilayah pesisir Makassar dalam dua tahun terakhir,” ungkap Hardin.

Karang05.PNG
Grafik trend penurunan populasi terumbu karang di tiga pulau yang diteliti. Pada 2015, terumbu karang di seluruh pulau menunjukkan penurunan rata-rata 30-an persen, yang berarti berada dalam kualitas buruk. Sumber : MSDC

Menurut Hardin, tidak hanya segi populasi, kondisi kesehatan terumbu karang di pulau yang diteliti juga menunjukkan adanya penurunan yang drastis. Banyak terumbu karang yang hampir mati, dan di beberapa tempat dipenuhi oleh pasir akibat sedimentasi yang parah. Sampah-sampah juga banyak ditemukan di sela-sela terumbu skarang.

Menyangkut penyebab, meski belum bisa memastikan, namun dilihat dari ciri-ciri kerusakan sebagian besar diakibatkan oleh dampak reklamasi. Penyebab lain yang dicurigai adalah tindakan pengeboman dan pembiusan, meski skalanya kecil.

Pemerintah Kota Makassar sendiri, menurut Hardin, menuding penyebab kerusakan itu pada perilaku pengeboman dan pembiusan. Namun ia sangsi dengan asumsi tersebut, dengan melihat apa yang ditemukannya di lapangan.

“Mungkin memang ada juga karena bom dan bius tapi skalanya kecil. Justru yang banyak terjadi adalah kekeruhan air dan banyaknya pasir yang menutupi karang. Ini karena sedimentasi sebagai dampak dari reklamasi,” tambahnya.

Pelaksanaan reef check ini sendiri merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan MSDC kerjasama dengan Jaringan Kerja Reefcheck Indonesia (JKRI) yang berpusat di Bali. ‘Reef Check’ selain sebagai metode juga merupakan suatu jaringan pemantauan terumbu karang di seluruh dunia dengan pusat di California, Amerika Serikat.

“Aktivitas reef check ini sudah dilakukan sejak 1998, namun baru beberapa tahun ini dipercayakan kepada lembaga kami. Tujuannya untuk mengetahui kondisi terumbu karang di Indonesia dan kami MSDC khusus untuk Indonesia bagian timur.”

Dalam pelaksanaan penelitian termbu karang, menurut Hardin, dikenal banyak metode namun mereka memilih point transect karena lebih sederhana sehingga mudah dipahami dan dilakukan oleh masyarakat awam.

“Harapannya bahwa dengan metode ini juga bisa dilakukan oleh masyarakat awam karena metodenya yang sederhana melalui transek atau penelusuran di titik tertentu dengan jarak antara titik setengah meter.”

Tidak hanya meneliti terumbu karang, pelaksanaan reef check ini juga bertujuan untuk monitoring ikan-ikan tertentu yang dianggap penting atau dilindungi. Beberapa jenis di antaranya adalah ikan kerapu tikus, humphead wrasse atau napoleon dan bumphead.

Karang03.JPG
Beberapa terumbu karang masih terlihat bagus dan dipenuhi beberapa ikan-ikan khas terumbu karang, seperti Amphiprion ocellaris atau ikan badut, yang menjadi inspirasi film Finding Nemo. Foto : Hardin/MSDC

Dengan kondisi yang rusak parah tersebut, Hardin berharap adanya upaya berbagai pihak melakukan aksi bersama dalam melakukan penyelamatan.

“Memang perlu kerjasama antar berbagai pihak untuk melakukan tindakan bersama. Pertama-tama mungkin adalah melakukan penelitian lanjutan tentang tingkat kekeruhan, untuk mencari penyebabnya secara pasti. Kita butuh informasi ini untuk memastikan penyebab yang sebenarnya sebelum menentukan tindakan strategis yang bisa dilakukan ke depan.”

Peluang memperbaiki kondisi terumbu karang ini pun menurut Hardi, masih terbuka lebar, karena tidak semua terumbu karang mengalami kerusakan yang parah.

“Dalam pemikiran kami langkah yang bisa dilakukan adalah melakukan monitoring secara intens, tiga kali seminggu. Kita harus lihat secara pasti apakah penyebabnya adalah alami atau karena faktor eksternal, seperti reklamasi atau bom ikan.”

Mengenai kemungkinan diadakannya transplantasi terumbu karang, menurut Hardin, bukanlah solusi yang tepat.

“Melakukan transplantasi terumbu karang di perairan yang keruh sama saja bohong dan malah akan semakin merusak, karena ini terkait pertumbuhan. Kecuali perairannya sehat baru bisa. Kita sudah mencoba beberapa kali tapi ternyata hasilnya tidak efektif dengan tingkat pertumbuhan yang kurang bagus.”

Proyek transplantasi terumbu karang yang sering dilakukan, menurut Hardin, banyak yang gagal karena hanya fokus pada prosesnya saja, tanpa ada pengawasan setelahnya.

Irham Rapi, Direktur Yayasan Konservasi Laut (YKL) tidak menampik dugaan bahwa reklamasi melalui proyek CPI sebagai penyebab utama rusaknya terumbu karang tersebut.

“Besar kemungkinan memang itu adalah dampak dari reklamasi, meski memang harus dilakukan penelitian lebih lanjut lagi. Penyebabnya sendiri bisa macam-macam,” katanya.

Karang04.JPG
Reklamasi Pantai Losari melalui proyek CPI diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang di pesisir pantai Makassar. Foto : Wahyu Chandra

Terumbu karang, menurutnya, memang membutuhkan kondisi laut yang sehat. Tidak hanya karena reklamasi, gangguan terhadap populasi dan pertumbuhan terumbu karang bisa juga disebabkan karena aktivitas pembuangan limbah, pengeboman, bius dan bahkan karena pengaruh perubahan iklim.

“Perubahan iklim dengan suhu yang semakin panas bisa menyebabkan matinya terumbu karang, munculnya penyakit seperti bleaching atau pemutihan karang.”

Jamaluddin Jompa, Dekan Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin berharap agar hasil penelitian ini ditanggapi serius oleh pemerintah Kota Makassar. Jika memang kerusakan itu terjadi karena kesengajaan maka perlu adanya sanksi berat bagi pelaku pengrusakan.

“Perlu adanya tindak lanjut dari pemerintah kota Makassar akan hal ini. Selain itu diperlukan adanya penegakan aturan dan hukum bagi para perusak ekosistem terumbu karang dan laut,” tambahnya.

 

Sumber: http://www.mongabay.co.id/2016/01/15/terumbu-karang-pesisir-makassar-rusak-parah-dampak-reklamasi/

4.000 Hektare Lahan Pesisir di Makassar Terancam Proyek Reklamasi

4-000-hektare-lahan-pesisir-di-makassar-terancam-proyek-reklamasi-MFYBoxu98m
Ilustrasi (Sumber: Okezone.com)

MAKASSAR – Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) rencananya akan disahkan dalam sidang paripurna DPRD Makassar, hari ini. Di dalam Ranperda RTRW itu, turut mengakomodir reklamasi Pantai Losari dan sekitarnya.

Hal ini mendapat penolakan keras dari para aktifis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Tolak Reklamasi (MTR). Pasalnya, pengesahan Ranperda berpotensi direklamasinya 4.000 hektare lahan pesisir di Kecamatan Tamalate, Mariso, Tallo, Biringkanaya, dan Tamalanrea.

MTR menyebut reklamasi berdampak pada kerusakan lingkungan di antaranya rusaknya lahan hutan bakau. Selain itu, reklamasi akan melenyapkan sumber-sumber ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya di daerah pesisir.

MTR terdiri dari WALHI Sulsel, Anti Corruption Committee (ACC) Sulawesi, LBH Makassar, Forum Informasi dan Komunikasi (FIK) Ornop Sulsel. Mereka mendesak Panitia Khusus (Pansus) RTRW agar tidak memaksakan pengesahan Ranperda RTRW Kota Makassar dan tetap mengakomodir masukan-masukan masyarakat sipil.

“Masa depan Kota Makassar akan terancam jika reklamasi yang akan melintasi Pantai Losari itu juga terealisasi,” kata Abdul Muthalib, Direktur ACC Sulawesi di Makassar.

Kata dia, jika Ranperda RTRW itu disetujui dan disahkan oleh Pansus RTRW di DPRD Makassar, maka itu akan jadi payung hukum kegiatan reklamasi sehingga selanjutnya akan terjadi transaksi proyek besar-besaran.

Sementara itu, Direktur Eksekutif WALHI Sulsel, Aswar Exwar, mengatakan, reklamasi kelak akan menutup akses ekonomi bagi masyarakat pesisir Makassar utamanya bagi nelayan pencari kerang. “Reklamasi itu telah melanggar hak-hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat pesisir,” ujarnya.

Menurutnya, reklamasi akan mengubah bentang alam pesisir, mengubah pola arus lautan karena akan menambah daratan baru. Soal seberapa jauh kerusakan lingkungan seperti kerusakan hutan bakau yang bakal terjadi, Aswar mengatakan, belum ada data detilnya tetapi bisa dibayangkan seberapa besar kerusakan yang akan diakibatkan reklamasi tersebut jika luasan lahan pesisir ada 4.000 hektar.

“Katanya akan membuat Ruang Terbuka Hijau baru tetapi justru merusak Ruang Terbuka Hijau alami yang sudah ada sebelumnya,” kata Aswar Exwar

Sedangkan tim dari ACC Sulawesi lainnya, Wiwin Suwandi, menyoroti proyek Centre Poin of Indonesia (CPI) Pemrov Sulsel seluas 157 hektare yang juga masuk dalam proyek reklamasi tersebut. Pemprov Sulsel sebelumnya menyatakan proyek CPI dibiayai dengan sistem cost sharing APBD Sulsel dan APBN. Namun kenyataannya Pemprov Sulsel menggandeng swasta yakni PT Yasmin Bumi Asri dan PT Ciputra.

“Akan terjadi pembagian lahan. Pemprov Sulsel dapat bagian sedikit dan investor diberi lahan dengan harga murah,” kata Wiwin Suwandi.

Ketua panitia khusus (pansus) pembahasan Ranperda RTRW DPRD Kota Makassar, Wahab Tahir, yang dikonfirmasi membenarkan jika hari ini akan dilangsungkan sidang paripurna sebagai tahap akhir dari pembahasan Ranperda RTRW.

“Pembahasan Ranperda itu telah selesai dan telah sesuai dengan RTRW Provinsi dan RTRW Nasional. Besok rencananya akan dilakukan pengesahan,” ujar Wahab Tahir.

(ris)

Fraksi Ummat Bersatu Minta Kaji Ulang Proyek CPI

Center-Point-Of-Indonesia-Makassar
Desain Proyek Center Point Of Indonesia, Makassar (Ist/Kabar Makassar).

Makassar – Rapat paripurna yang digelar di gedung DPRD Provinsi Sulsel yang membahas tentang Tata Ruang Kawasan Terpadu Pusat Bisnis Sosial Budaya dan Pariwisata Center Poin of Indonesia (CPI), oleh Fraksi Ummat Bersatu, Senin (14/12/2015). Dalam pandangan umum terhadap Ranperda meminta agar proyek CPI dikaji ulang. Hal tersebut disampaikan oleh Irwan Hamid selaku juru bicara Fraksi Ummat Bersatu.

Pandangan umum dari fraksi ummat bersatu menyampaikan jika Kawasan Terpadu Pusat Bisnis Sosial Budaya dan Pariwisata Center Poin of Indonesia (CPI), harusnya  memperhatikan kondisi riil, Salah satunya dampak lingkungan yang akan di timbulkan.

“Harusnya CPI ini perlu diperhatikan secara ril karena dampak yang ditimbulkan proyek tersebut dalam pelaksanaan pembangunan yaitu pekerjaan reklamasi pantai telah berjalan, dengan sumber anggaran APBD Provinsi dan investasi pihak ke tiga” ujar Jubir Fraksi Ummat Bersatu, Irwan Hamid.

Sementara itu Fraksi Ummat bersatu pun mengatakan proyek CPI ini sangat berkaitan dengan Reklamasi atau penimbunan laut yang terjadi di pesisir kota Makassar dalam skala besar, tentu akan berpotensi pada kerusakan ekosistem pesisir, laut dan pulau-pulau kecil sekitar kota Makassar. Untuk itu pihak Fraksi Ummat bersatu menegaskan sekaligus mempertayakan beberapa hal seperti;

1. Dengan proses reklamasi dikawasan ini dalam beberapa tahun terakhir, Kawasan Terpadu Pusat Bisnis Sosial Budaya dan Pariwisata Center Poin of Indonesia (CPI) ini apakah telah memiliki Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dan tidak melanggar aturan perundang-undangan tentang Zonasi (Zoning) Kawasan Pesisir, dan Garis Pantai yang telah ditentukan sebelumnya.

2.  Sejauh mana Kajian rencana Kawasan Terpadu Pusat Bisnis Sosial Budaya dan Pariwisata Center Poin of Indonesia (CPI) yang akan dibangun dengan melakukan reklamasi pantai, yang tentu akan mengubah luas daratan dan memperkecil luas perairan kota makssar sesuai kewenangannya. dan yang terlebih penting adalah dampak lingkungan yang akan ditimbulkan dikemudian hari misalnya kerusakan biota laut, dan abrasi pantai.

3. Bisakah dalam Ranperda nantinya ada poin yang menjelaskan pemerintah menjamin kawasan ini dapat diakses oleh publik seluas-luasnya. Bagi kami ini, sangat penting, sebab mengingat sejumlah wilayah di sekitar kawasan ini akan disulap menjadi wilayah bisnis. Mohon penjelasan?.

4. Fraksi Ummat Bersatu mempertanyakan apa yang menjadi proyeksi Kawasan Terpadu Pusat Bisnis Sosial Budaya dan Pariwisata Center Poin of Indonesia (CPI) ini, apakah kawasannya, atau meintikberatkan hanya pada CPInya.

5. Fraksi Ummat Bersatu berharap orentasi Kawasan Terpadu Pusat Bisnis Sosial Budaya dan Pariwisata Center Poin of Indonesia (CPI) tidak membatasi akses publik terhadap kawasan pesisir, karena sejumlah kalangan memperkirakan kawasan ini menjadi zona komersil, apalagi di sekeliling telah dikuasai oleh sejumlah koorporasi, lahan telah diprivatisasi, yang pada akhirnya masyarakat akan dimintai retribusi untuk mengakses sekitar kawasan ini. Mohon penjelasan?.

6. Fraksi Ummat Bersatu juga melihat konteks kehidupan masyarakat sekeliling dalam proses pelaksanaan kawasan terpadu ini, sangat memungkinkan mengubah mata pencaharian warga pesisir yang sebelumnya adalah nelayan, penjual ikan, pencari kerang.

7. Selanjutnya, seperti apa aspek budaya yang dimaksud dalam kawasan ini, bukankah budaya local pesisir telah tergerus, Reklamasi merubah ruang interaksi dari budaya maritim, dan menjadi budaya komersil. Mohon penjelasan?

8. Fraksi Ummat Bersatu mempertayankan penggunaan Angggaran selama beberapa tahun ini, berapa besaran anggaran yang digelontorkan Pemprov Sulawesi Selatan sejak  kawasan ini digagas tahun 2009 lalu?

9. Apakah kawasan terpadu Pusat Bisnis Sosial Budaya dan Pariwisata Center Poin of Indonesia (CPI) tertuang dalam RTRW Kota Makassar, karena sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Penataan Ruang Turunan RT-RW adalah Rencana Detail Tata Ruang, Fraksi Ummat bersatu berpandangan bahwa Ranperda tentang Kawasan Terpadu Pusat Bisisnis Sosial Budaya dan Pariwisata (CPI) merupakan turunan dari RT-RW Kota Makassar karena wilayah pengembangannya berada sepenuhnya di wilayah Kota Makassar.

Ala Kulli Hal (dalam kondisi apapun), Fraksi Ummat bersatu meminta Pemerintah melakukan kajian kembali terkait Ranperda tentang Kawasan Terpadu Pusat Bisnis Sosial Budaya dan Pariwisata Center Poin of Indonesia (CPI).

Selain membacakan pernyataan di sidang paripurna terkait dengan Kajian rencana Kawasan Terpadu Pusat Bisnis Sosial Budaya dan Pariwisata Center Poin of Indonesia (CPI). Fraksi ummat Bersatu pun membahas tentang  Rancangan Peraturan Daeran Tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pengaraustamaan Gender.

Editor: Fritz Matic

Sumber: http://www.kabarmakassar.com/fraksi-ummat-bersatu-minta-kaji-ulang-proyek-cpi/

Sejumlah LSM Tolak Rencana Reklamasi di Pesisir Makassar

 

Suara.com – Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Pesisir (ASP) menolak rencana pembangunan kawasan terpadu pusat bisnis yang sebagian besar direncanakan di dalam areal reklamasi di pesisir Makassar.

antara cpi
Tolak Reklamasi Pantai Aliansi Masyarakat Selamatkan Pesisir melakukan aksi penolakan program reklamasi pantai di Anjungan Pantai Losari, Makassar, Sulawesi Selatan, Minggu (25/10). (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Siaran pers ASP yang diterima di Jakarta, Sabtu, menyebutkan rencana pembangunan proyek reklamasi Pusat Bisnis Terpadu Indonesia (CPI) dinilai bakal merugikan hak warga dan berdampak pada rusaknya lingkungan, penggusuran paksa, serta hilangnya hak atas pekerjaan bagi nelayan dan masyarakat pesisir.

Luas Rencana Struktur Ruang pada Kawasan Strategis Terpadu CPI yang diusulkan oleh Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan memiliki luas 625,35 hektare di zona kawasan inti dan 840,75 hektare di kawasan penyanggah sebagian besar direncanakan di dalam areal reklamasi yang belum memiliki aspek legal, seperti belum adanya perda zonasi wilayah pesisir dan pulau kecil.

Aliansi Selamatkan Pesisir mengatakan bahwa berdasarkan laporan hasil penelitian mahasiswa kelautan Unhas (MSDC) yang dipublikasi media massa, menyatakan 60 persen terumbu karang di wilayah pesisir kota Makassar telah rusak.

Alokasi ruang reklamasi yang nantinya dilaksanakan dalam sebuah proyek besar reklamasi dinilai akan menambah parah persentase kerusakan terumbu karang dan makin mengesampingkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat bagi masyarakat.

Selain itu, LSM juga mengemukakan bahwa nelayan di wilayah kecamatan Mariso telah mengalami kesulitan dalam mencari ikan di sekitar perairan Makassar, serta alur transportasi perahu juga makin menyempit seiring dengan pelaksanaan proyek reklamasi berjalan.

ASP juga berpendapat bahwa alokasi kawasan reklamasi di pesisir Makassar selain akan menimbulkan daya rusak pada terumbu karang, ekosistem perairan pesisir, seperti tanaman bakau yang masih banyak terdapat di Kecamatan Mariso, Tallo, Biringkanaya, dan Tamalanrea diprediksi akan hilang.

Mereka juga menyatakan bahwa reklamasi untuk ruang terbuka hijau (RTH) tidak akan mengembalikan fungsi ekosistem laut. Proyek reklamasi dinilai akan menghilangkan habitat alami tanaman bakau yang masih banyak terdapat di wilayah pesisir Kecamatan Mariso, Tallo, Biringkanaya, dan Tamalanrea.

Padahal, hutan bakau memiliki arti penting bagi nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Tidak hanya menyelamatkan kehidupan mereka dari ancaman abrasi pesisir pantai, kawasan bakau juga memberi kontribusi ekonomi bagi mereka.

Hal tersebut antara lain karena ikan, udang, kepiting, dan organisme lainnya menempatkan kawasan bakau sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah untuk bertelur (spawning ground), dan daerah untuk mencari makan (feeding ground).

Secara keseluruhan, ASP berkesimpulan bahwa reklamasi akan berdampak pada hancurnya fisik perairan pantai, ekosistem pesisir, dan sumber-sumber penghidupan sosial-ekonomi masyarakat.

Untuk itu, dalam konteks payung hukum reklamasi, kegiatan reklamasi di wilayah pesisir dinilai haruslah diatur dalam regulasi di level provinsi dalam bentuk perda zonasi wilayah pesisir, dan perizinan kegiatan reklamasi haruslah mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagaimana di atur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 17 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Reklamasi dan Permen Pekerjaan Umum No. 40/PRT/M/2007 tentang Pedoman Perencanaan Tata Ruang Kawasan Reklamasi Pantai.

ASP terdiri atas Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan, Anti-Corruption Committee (ACC), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, dan Forum Informasi Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop) Sulsel, Selain itu, LSM lainnya adalah Blue Forest, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri, Front Mahasiswa Nasional (FMN), Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR), Komisi untuk Orang Hilang dan Korbant Tindak Kekerasan (Kontras), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Sulsel, JurnaL Celebes, dan SJPM. [Antara]

Sumber:

http://www.suara.com/news/2016/01/10/012342/sejumlah-lsm-tolak-rencana-reklamasi-di-pesisir-makassar

http://www.antaranews.com/berita/539081/lsm-tolak-rencana-reklamasi-di-pesisir-makassar

Usut Korupsi CPI, Kejati Turunkan Tim

chairil-Reklamasi-dan-Anjungan-Pantai-Losari-coi-8
Proyek pembangunan CPI diduga bermaslah kini dalam penanganan kejaksaaan (Foto: Berita Kota Makassar)

MAKASSAR, BKM — Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulselbar menyiapkan Tim Khusus untuk mengusut dugaan korupsi pada Proyek Center Point of Indonesia(CPI) di areal Tanjung Bunga Makassar.

Proyek yang menghabiskan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah(APBD) sebesar Rp164.148.560.000 dipersoalkan lantaran telah menyerap banyak anggaran namun tidak sejalan dengan progres pembangunannya. Selain itu, anggaran pinjaman Rp23 miliar dari PIP diduga belum dikembalikan pihak Pemprov Sulsel.

“Kita berencana menurunkan tim untuk melakukan pengusutan,” ujar Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulselbar, Muliadi, Kamis (7/1).

Muliadi menuturkan tim yang diturunkan nantinya akan melakukan pengecekan serta penelusuran terhadap proyek tersebut.

Tim jaksa yang akan ditunjuk untuk mengusut kasus ini, kata Muliadi tinggal menunggu petunjuk dan perintah dari pimpinan.

“Tim yang akan diturunkan masih tunggu koordinasi,” tandasnya.

Muliadi juga belum bisa memastikan kapan tim bekerja. Alsannya, jadwal pengusutan masih bersifat rahasia dan tidak bisa terlalu diekspose.

“Pengusutannya masih kita rahasiakan, biarkan nanti tim yang bekerja,” tukas Muliadi.

Muliadi menjelaskan, Pemprov Sulsel pernah mengusulkan kembali anggaran proyek pembangunan wisma negara yang terletak di kawasan CPI sebesar Rp51 miliar. Namun pihak DPRD Provinsi Sulsel menolak usulan tersebut.

Adapun alasan penolakan mengacu pada surat Menteri Sekertaris Negara (Mensesneg), yang menolak tentang moratorium pembangunan gedung dengan menggunakan anggaran untuk infrastruktur lainnya yang berguna untuk pelayanan umum.

Diketahui proyek megah ini dibangun di atas lahan seluas 157 hektar, menelan anggaran yang tidak sedikit dan membutuhkan waktu yang lama karena dalam perencanaan proyek CPI tersebut, rencana akan di bangun mercusuar, hotel berkelas dunia.

Pusat bisnis, dan pemerintahan, tidak hanya itu di area tersebut juga akan dibangun wisma negara, dan mesjid termegah di Asia bahkan ada juga akan dibangun the Makassar Notradamus, yaitu taman 1000 patung pahlawan Nasional, dikawasan tersebut juga akan dibangun Public Spaceatau area terluas di dunia.

CPI juga rencananya akan dilengkapi dengan dua jalan layang selebar 40 meter, waterway, monorail, dan busway untuk monorail CPI nantinya akan dihubungkan kepusat kota Makassar hingga ke Bandara Sultan Hasanuddin. Selain itu, juga akan dibangun menara yang menyerupai Oriental Pearl Tower di Sanghai Cina, namun sayangnya proyek super megah tersebut di tolak oleh DPR RI untuk di usulkan ke dalam RAPBN 2009 kemarin.

Proyek CPI mulai dikerjakan tahun 2009 dengan menggunakan APBD tahun 2009 sebagai pancingan agar mendapatkan anggaran dari pusat, namun hingga kini tak ada bantuan sepeser pun dari pusat yang masuk ke proyek CPI tersebut. Namun justru anggaran daerah yang terkuras melalui APBD Sulsel mulai tahun 2009 hingga 2014 yang mencapai 164.148.560.000 rupiah.

Nama CPI yang sebelumnya adalah Equilibrium Centre Park(ECP) dalam penyusunan Amdal, penyusunan Feasibility Study, dan penyusunan masterplan tidak menggunakan nama Center Point of Indonesia(CPI) melainkan menggunakan nama Equilibrium Centre Park(ECP). (mat-ril/b)

Sumber: http://beritakotamakassar.com/2016/01/08/usut-korupsi-cpi-kejati-turunkan-tim/

 

Aktivis Mahasiswa duga reklamasi CPI komersialisasi ilegal

mongabay reklamasi
Proses pembangunan CPI (Foto: MONGABAY INDONESIA)

Makassar (ANTARA Sulsel) – Aktivis mahasiswa menduga reklamasi sepanjang pesisir pantai Losari dan megaproyek Cental Poin of Indonesia (CPI) seluas 157 hektare yang dikelola investor Ciputra Grup jelas komersialisasi yang bersifat ilegal.

“Reklamasi yang dilakukan di wilayah makassar tepatnya di pesisir pantai Losari termasuk CPI dan sepanjang Metro Tanjung Bunga jelas merusak ekositem laut diarea tersebut,” tegas Ketua Umum Gerakan Revolusi Demoktratik Makassar Amar Anggriawan Azis, Kamis.

Menurut dia, berdasarkan kajian bahwa penimbunan laut di daerah pantai tersebut dan pulau disekitar losari terkesan dipaksakan serta akan menimbulkan bencana lebih besar dibanding tujuannya berdalih untuk peningkatan ekonomi masyarakat.

Penimbunan laut tersebut, lanjutnya, akan menyebabkan luapan air yang berimbas pada banjir pada akhirnya merembes ke wilayah Kota Makassar sehingga masa depan kota akan terancam bila proyek tersebut dilanjutkan.

“Reklamasi katanya akan membuat Ruang Terbuka Hijau alami, apakah itu benar, belum tentu karena pada tahun mendatang bisa saja itu nanti terjadi abrasi pantai. Berdalih peningkatan ekonomi bila pembangunan selesai, belum tentu karena akan menikmati hanya orang kaya saja, orang miskin hanya gigit jari,” katanya.

Selain itu adanya ketimpangan pengesahan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Makassar di DPRD setempat di wilayah pesisir dengan reklamasi sekitar 4.000 hektare berada di Kecamatan Mariso, Tallo, Biringkanaya dan Tamalanrea tentu akan berdampak pada kerusakan lingkungan laut dan hutan bakau.

“Reklamasi ini juga berdampak pada ekonomi warga pesisir yakni nelayan dan pencari kerang sehingga mata pencarian mereka akan hilang, padahal mereka menggantungkan hidupnya disana,” sebut dia.

Proyek Cental Poin of Indonesia yang di gagas Pemprov Sulsel seluas 157 hektare itu banyak ketimpangan. Berdasarkan data CPI telah dianggarkan melalui APBN dan APBD dengan cost sharing total anggaran sekitar Rp400 miliar, namun pada kenyataannya malah mengandeng pihak swasta yakni corporasi grup JO Ciputra Yasmin.

“Akan terjadi pembagian lahan negara tersebut, Pemrov hanya mendapat 50 hektare atau terbilang hanya sedikit dan pengembang ini Ciputra grup lebih banyak 107 hektare, jelas ini komersialisasi ilegal dan tidak menguntungkan dan dibeli murah,” ungkap dia.

Sebelumnya, berdasarkan Perjanjian Kerjasama atau PKS antara Pemprov Sulsel dengan JO Ciputra Yasmin, sekitar 50 hektar lahan reklamasi itu akan diserahkan kepada Pemprov Sulsel dari total keseluruhan pengembangan kawasan CPI seluas 157 ha.

Pihak investor melalui penanggungjawab kawasan CPI Soeprapto Budisantoso berdalih akan memberikan fasilitas umum seperti Masjid Besar, Area Terbuka Hijau atau taman interaktif, Kantor Pemerintahan, pantai buatan serta fasilitas lain akan dibangun di atas lahan 50 hektar tersebut. Dalam lahan tersebut juga akan dibangun Wisma Negara.

“Kami berharap agar Presiden Joko Widodo segera menyikapi persoalan ini, sebab sudah jelas lahan negara yang dikomersialisasi secara ilegal tidak sesuai peruntukannya bahkan akan dimiliki investor ini, dan jelas dalam Undang-undang tanah negara dan laut tidak boleh dimiliki perorangan apalagi perusahaan kapitalis,” papar Amar.

Sebelumnya, sejumlah aktivis lingkungan seperti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Makassar, serta beberapa aktivis lingkungan lainnya juga melakukan protes penolakan atas reklamasi yang diyakini melanggar Undang-undang dan peraturan agraria lainnya.

Editor: Daniel

Kopel Indonesia Ungkap Kejanggalan Raperda CPI

CPI Losari
Proses pembangunan CPI yang kini terus berlangsung (Foto: WAHYU CHANDRA)

MAKASSAR – Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia mengungkap sejumlah kejanggalan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Bisnis Global Terpadu, yang diserahkan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Raperda yang memuat perencanaan kawasan pusat bisnis terpadu Centre Point of Indonesia (CPI) itu diduga akan melegalkan praktek tindak pidana korupsi.

“Ada upaya mengibuli masyarakat melalui legislator yang membahas raperda ini,” kata Musaddaq, koordinator bidang advokasi Kopel Indonesia, kemarin.

Musaddaq menguraikan, berdasarkan naskah akademik yang disetorkan pemerintah kepada DPRD, dijelaskan bahwa Kawasan Bisnis Global Terpadu berdiri di atas lahan seluas 1.466 hektare. Menurut dia, data itu berbeda dibanding penjelasan Gubernur Syahrul Yasin Limpo di berbagai kesempatan yang menyebutkan luas lahan proyek itu hanya mencapai 157 hektare.

Kejanggalan lain adalah terkait dengan tidak adanya proyek pembangunan CPI dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2008-2013. Padahal, kata Musaddaq, proyek itu mulai berjalan sejak 2009. Dalam RPJMD, dia menuturkan, pemerintah hanya menyinggung proyek bernama Equilibrium Central Park yang diduga sebagai cikal bakal CPI.

“Jika perubahan nama itu benar, hal tersebut adalah pelanggaran karena tidak disertai aturan yang jelas,” kata dia.

Musaddaq juga menyinggung tentang penyertaan pembangunan proyek Wisma Negara di dalam kawasan CPI. Proyek itu, kata dia, tidak mendapat persetujuan dari Sekretariat Negara serta pedoman Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengirim surat kepada pemerintah Sulawesi Selatan ihwal proyek Wisma Negara. Surat yang dibuat pada 11 November 2015 itu menginstruksikan kepada pemerintah Sulawesi Selatan untuk menunda kelanjutan proyek tersebut dan mengalihkan anggaran untuk hal-hal yang lebih bermanfaat.

Anggota Advokasi Kinerja Keuangan Daerah Kopel Indonesia, Anwar Razak, mengatakan proyek CPI telah menguras APBD sebesar Rp 154 miliar. “Uang sebesar itu seharusnya lebih banyak dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat,” ujar dia.

Anwar mengatakan, Kopel telah melaporkan dugaan korupsi proyek CPI di Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2014. Dia mengakui proses pengusutan berjalan lamban karena sebagian pemimpin lembaga anti-rasuah itu tersandung sejumlah kasus pidana. “Kami terus mendorong agar perkara itu terus menjadi atensi KPK untuk dituntaskan,” ujar Anwar.

Kepala Dinas Tata Ruang dan Permukiman Sulawesi Selatan, Andi Bakti Haruni, menjelaskan ada kesalahpahaman soal raperda yang diusulkan pemerintah, terutama soal luas lahan. Menurut dia, luas lahan 1.466 hektare dipastikan meliputi kawasan bisnis global terpadu yang berisikan sejumlah proyek.

“Sebanyak 157 hektare di antaranya untuk CPI. Sisanya terbagi-bagi untuk kepentingan lain di sektor sosial, budaya, ataupun pariwisata,” ujar Bakti.

Bakti menilai kehadiran raperda akan menjadi pedoman pengaturan tata ruang di daerah reklamasi di pantai barat Makassar itu. Raperda, kata dia, untuk memastikan pembangunan di kawasan terpadu sesuai dengan peruntukannya. Bakti menolak mengomentari tudingan lain seputar proyek CPI tersebut.

Raperda tentang kawasan strategis itu kini dibahas di panitia khusus DPRD. Anggota pansus dari Fraksi Demokrat, Selle K.S. Dalle, mengatakan pansus masih melakukan komunikasi seputar materi. Dia mengatakan Fraksi Demokrat tidak akan ambil bagian dalam pembahasan karena sejak awal pihaknya menolak raperda itu.”Kami merasa raperda itu tidak mendesak untuk diupayakan dalam waktu dekat ini. Silakan yang lain kalau mau membahasnya,” kata Selle. AAN PRANATA | IIN NURFAHRAENI DEWI PUTRI | ABDUL RAHMAN

Sumber: http://koran.tempo.co/konten/2016/01/12/391154/Kopel-Indonesia-Ungkap-Kejanggalan-Raperda-CPI